Kebudayaan adalah kebiasaan-kebiasaan yang ada pada suatu masyarakat dimana disitu ada cara berfikir dan cara merasa yang menyatakan diri
dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan
sosial (masyarakat) dalam suatu ruang dan waktu. Kebudayaan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan kepercayaan
seni, moral, hukum, adat serta kemampuan serta kebiasaan lainnya yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
yaitu masyaraakat yang menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan
yang terabadikan pada keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa
manusia yaitu kebijaksanaan yang sangat tinggi di mana aturan
kemasyarakatan terwujud oleh kaidah-kaidah dan nilai-nilai sehingga
denga rasa itu, manusia mengerti tempatnya sendiri, bisa menilai diri
dari segala keadaannya.
Kebudayaan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang, begitu
pula sebaliknya. Di dalam pengembangan kepribadian diperlukan
kebudayaan, dan kebudayaan akan terus berkembang melalui kepribadian
tersebut. Sebuah masyarakat yang maju, kekuatan penggeraknya adalah
individu-individu yang ada di dalamnya. Tingginya sebuah kebudayaan
masyarakat dapat dilihat dari kualitas, karakter dan kemampuan
individunya.
Kebudayaan dan masyarakatnya memiliki kekuatan yang mampu mengontrol,
membentuk dan mencetak individu. Apagi manusia di samping makhluk
individu juga sekaligus makhluk sosial, maka perkembangan dan perilaku
individu sangat mungkin dipengaruhi oleh kebudayaan. Atau boleh
dikatakan, untuk membentuk karakter manusia paling tepat menggunakan
pendekatan budaya.
Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah suku Dayak. Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah
untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya
(Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut
Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah orang Daya (orang
darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun
Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan
Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan
dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk
menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil
(daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak
Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk
rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak”
dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk
asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau
non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi)
istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang
mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah
pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan
Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang
pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada
tahun 1895.
Arti
dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987),
misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti
manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti
pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang
yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al.
melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti
manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai
hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim
bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang
diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.
Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk
asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak.
Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah
ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut
mereka sebagai ‘Dayak’.
Secara umum kebanyakan penduduk
kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan
adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter
Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat
asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia
mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang
mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur
menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan
penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu
permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan
Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat
bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua
Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal
sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang
lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan
kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan
perpindahan suku Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku
Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu
sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan
yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada
saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah
selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku
Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut
dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai.
Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk
ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi,
Amuntai,
Margasari,
Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi
terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar
Hindu yang terkenal adalah Lambung
Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot
Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam
menyebut dirinya sebagai Suku Kutai. Tidak hanya dari Nusantara,
bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa
tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam Buku
323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi
disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan
bahwa seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti
Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya
yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar
memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa
dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa
Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa
mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun
1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di
selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak
memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan
kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang
Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti
piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa
telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle
mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah
pimpinan Cheng Ho,
dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan,
Malaka,
Manila
dan Solok.
Pada tahun 1750,
Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari
emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya
candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.